Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum (MAPENDA)

Latest Posts

10 November 2010

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER



Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.


Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Dampak Pendidikan Karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.*

Prof . Suyanto Ph.D
www.mandikdasmen.depdiknas.go.id

read more...

22 Maret 2009

KEADILAN, KEMAKMURAN DAN DEMOKRASI

Ditengah carut marutnya kondisi negara kita ini, sudah sepantasnya sebagai generasi muda kita mencoba mencari alternatif-alternatif tindakan yang dipandang mampu membawa angin segar perubahan itu. Mengintrodusir dari apa yang pernah disampaikan Heraclitos bahwa, tidak ada yang abadi didunia ini kecuali perubahan. Dengan demikian perubahan (mungkin reformasi, bahkan juga revolusi) adalah harga mati.
Ketika kita berbicara tentang perubahan, sudah pasti yang kita maksud adalah perubahan suatu kondisi menjadi lebih baik. Sebagaimana yang sudah menjadi agenda rutin dinegara kita, setiap 5 tahun sekali kita menyelenggarakan pesta demokrasi (istilah yang sering dipakai adalah Pemilu). Agenda ini tidak lain adalah salah satu upaya untuk melakukan perubahan itu. Akan tetapi, samapi saat ini jarang sekali masyarakat kita yang mau berfikir tentang demokrasi dalam hubungannya dengan keadilan dan kemakmuran. Padahal tiap saat mereka selalu menuntut untuk ditegakkanya keadilan dan tercapainya kemakmuran kolektif.

Keadilan, Kemakmuran dan Demokrasi
Apakah demokrasi akan memproduksi kebenaran dan keadilan melalui metodologinya yang menyerahkan putusan kepada mayoritas suara? Tentu saja jawabannya bisa saja “ya” dan mungkin juga “tidak”. Akan tetapi, secara kritikal, yang pasti kebenaran dan keadilan tidak identik dengan kehendak mayoritas. Kalau kita telaah dari kacamata hokum, demokrasi ingin mewujudkan social justice (keadilan sosial) yang diabsahkan menjadi legal justice (keadilan legal), sehingga Negara dan aparaturnya dapat melaksanakan putusan justice itu dalam tindakan nyata.
Social justice seperti yang dimaksud diatas dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, melalui lembaga politik semisal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Disini social justice itu ditransformasikan menjadi political justice. Keadilan dalam persepsi wakil rakyat. Kedua, melalui lembaga pro-yustisia (judical) semisal pengadilan atau bisa lewat lembaga arbitrase. Dalam kacamata hokum, proses ini akan melahirkan transformasi social justice menjadi legal justice.
Demokrasi, baik dalam artian politik maupun ekonomi, memiliki perhatian untuk menjadi instrument politik dalam pengaturan masyarakat modern yang plural. Demokrasi menjanjikan perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam konteks perlindungan perangkat hak-hak asasi secara individual maupun kolektif. Secara hakiki dapat difahami bahwa esensi dari pembangunan hokum adalah “keadilan”, sedangkan esensi dari pembangunan ekonomi adalah “kemakmuran”. Yang manakan yang harus didahulukan, pembangunan hokum ataukan pembangunan ekonomi? Hasil analisis dua pertanyaan itu adalah suatu andaian logis teoritis. Secara praktis, dalam ruang, lingkup dan waktu pembangunan suatu komunitas bernegara, dapat dihayati, bahwa keduanya harus berjalan parallel walaupun kadang tidak seimbang.
Hukum dan ekonomi dengan demikian harus berjalan bersamaan dengan tetap berpegang pada “keadilan”. Politik menjadi penengah untuk mewujudkan fairness itu, mewujudkan konsensus yang adil, dan suasana kenyamanan-kedamaian. Proses politik demokratis diharapkan dapat melahirkan hukum yang adil dan efisien. Dengan demikian proses hukum juga akan menghasilkan dan melahirkan tatanan politik yang adil, terbuka, dan menunjang kemakmuran ekonomi.

Apa yang masih bisa kita harapkan?
Dari sedikit uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa, keadilan sosial bagaimanapun juga perlu didahulukan dari kemakmuran material untuk rakyat. Keadilan sosial menjadi kata kunci untuk menjadi tujuan dari demokrasi sebagai instrumen tatanan politik yang memiliki klaim etis. Kita hendaknya percaya bahwa keadilan akan mengarah pada keselamatan seluruh rakyat dan keadilan yang sempurna akan sungguh-sungguh menyelamatkan. Dan pasti, keadilan akan menuju pada kemakmuran yang merata, dan akan membawa kemakmuran yang bermakna. Dan apabila demokrasi tidak membawa pada keadilan sosial dan kemakmuran, “kita tidak butuh apa pun dari demokrasi”.
read more...

20 Maret 2009

QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA?

Menurut para pakar pendidikan, mutu pendidikan di Indonesia makin hari semakin mengalami penurunan. Menyadari hal tersebut, tidak mengherankan apabila berbagai cara ditempuh dan dijalankan untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang membuat muram wajah pendidikan di negara ini.
Betapa tidak, krisis ekonomi tahun 1997 yang menimpa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia telah memunculkan babak sejarah baru. Krisis itu berujung pada kerusuhan tahun 98 yang banyak dinilai telah memporak porandakan moral dan nilai yang sebelumnya dijunjung tinggi. Saat itulah babak sejarah baru itu dimulai. Reformasi. Kata itulah yang seakan-akan selalu memenuhi otak dan pikiran kita saat itu.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, babak baru sejarah yang membawa banyak harapan itu, juga menuntut bukan saja reformasi dalam birokrasi pemerintahan, tetapi juga reformasi disegala bidang, termasuk sistem pendidikan. Akan tetapi dalam realitas yang ada, ternyata masa reformasi yang telah berjalan hampir satu dasa warsa belum mampu membawa angin segar bagi pendidikan. Bahkan ada yang menilai malah mendatangkan banyak permasalahan.


PROBLEMATIKA PENDIDIKAN KITA
Permasalahan-permasalahan yang disinyalir menimbulkan kemandegan pendidikan kita, masih berkutat pada tiga hal, yaitu; Sistem pendidikan, profesionalisme guru dan Anggaran pendidikan.
Pertama, sistem pendidikan. Tak ada yang lebih membuat banyak praktisi pendidikan merasa cemas dan bingung selain pergantian kurikulum nasional. Mulai dengan kurikulum 1994 yang pada tahun 2004 diganti dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Ketika KBK belum mampu dilaksanakan oleh tiap satuan pendidikan dinegeri ini, kurikulum telah diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), walaupun sebenarnya kurikulum tersebut adalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya.
KTSP yang sebenarnya cenderung memberikan kebebasan kepada masing-masing satuan pendidikan untuk membuat kurikulum sendiri (Button Up) ternyata masih menyisakan banyak masalah. Diantaranya adalah banyaknya sekolah yang tidak mampu untuk menyusun kurikulum sendiri sehingga mereka masih mencontek kurikulum lama.
Selain itu, yang sangat ironis adalah ketika tiap satuan pendidikan diberikan kebebasan untuk menyusun kurikulum sendiri, akan tetapi yang menjadi standar kelulusan adalah tiga pelajaran dalam Ujian Nasional.
Kedua, profesionalisme guru. Era globalisasi akibat tekhnologi informasi, transportasi dan komunikasi, yang ditandai dengan kompetisi, efisiensi dan keterbukaan merupakan tantangan baru bagi pendidikan kita. Guru yang selama ini diyakini sebagai penentu kualitas dan mutu pendidikan dituntut untuk mampu mengantarkan muridnya mampu menjawab tantangan globalisasi.
Menurut H.A.R. Tilaar, dalam sebuah tulisannya yang khusus menyoroti profil guru dalam perkembangan global dengan karakteristik masyarakat berteknologi, terbuka, dan masyarakat madani, maka tugas pendidikan idealnya dipegang oleh tenaga profesional, yang terdiri dari pelaku-pelaku dan guru-guru profesional. Realitas ini harus diakui sebagai suatu keniscayaan, karena masyarakat terbuka hanya menerima tenaga profesional dalam bidangnya masing-masing, termasuk dalam dunia pendidikan. Artinya tenaga pendidik, yang tidak profesional tidak akan survive karena tidak akan dapat berkompetisi dengan orang lain. Dengan demikian jika profesi guru tidak kompetitif, tidak profesional, dapat berakibat pada matinya profesi tersebut.
Akan tetapi ketika kita berbicara tentang guru profesional, ternyata kita akui atau tidak di negara kita masih banyak guru yang tidak memiliki kelayakan untuk menjadi guru. Kualifikasi S1 untuk guru pendidikan dasar dan menengah ternyata malah menimbulkan blunder bagi dunia pendidikan sendiri. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya perkuliahan yang hanya sekedar formalitas, tanpa mengutamakan mutu. Disamping itu program S1 Kependidikan yang dapat ditempuh selama 4 semester semakin memperkuat asumsi bobroknya sistem pendidikan kita.
Ketiga, anggaran pendidikan. Selain dua hal diatas, anggaran pendidikan yang dalam undang-undang harus mencapai 20% ternyata belum mampu terpenuhi. Sehingga pembiayaan terhadap gurupun masih dianggap kurang layak.
Hal ini kemudian memunculkan image masyarakat kita akan status riil yang disandang oleh profesi guru. Sebagian besar masyarakat kita diakui atau tidak masih mempunyai asumsi bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pilihan yang menduduki urutan yang kesekian bila dibandingkan dengan profesi lainnya yang lebih bersipat komersial dan cepat mendapatkan uang banyaK. Sebagai akibatnya adalah, penghargaan orang terhadap guru sangat memprihatinkan.

MAHASISWA TARBIYAH DAN PROSPEK PENDIDIKAN MASA DEPAN
Sekolah, kata Ivan Illich, dari namanya saja cenderung menyita seluruh waktu dan tenaga guru sebagai pengawas, pengkhotbah, dan ahli terapi. Akan tetapi semua kemampuan itu terkesan digunakan sang guru untuk “memaksa” siswa mengikuti ideologi yang dianut sang guru. Fenomena sekolah seperti itu tentu tidak bisa terlalu banyak diharapkan untuk menjadi sebuah institusi yang dapat berfungsi sebagai lembaga perubah (institution of change) yang dalam batasan tertentu merupakan suatu keharusan moral profesi bagi guru untuk rnelakukannya.
Jika kita meyakini bahwa guru adalah penentu kualitas dan mutu pendidikan, maka kita juga harus bertanya bagaimana pendidikan bagi calon guru itu dilaksanakan. Apakah Fakultas Keguruan, Ilmu pendidikan, dan atau Tarbiyah telah benar-benar mampu menjawab tuntutan pendidikan saat ini.
Dalam konteks pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah memikul tanggung jawab yang berat. Sebab dari sekian banyak fakultas tarbiyah yang ada, ternyata didalamnya juga banyak permasalahan. Mulai dari fasilitas, kualitas dosen dll. Sangat ironis sekali, bagaimana mungkin ketika sebuah LPTK (Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan) termasuk Tarbiyah ingin mencetak tenaga pengajar yang berkualitas, akan tetapi lembaga itu ternyata tidak memiliki tenaga pengajar (dosen) yang berkualitas pula.
Disamping itu, permasalahan yang seringkali dihadapi oleh mahasiswa tarbiyah adalah, seringkali mereka terjebak dalam pragmatisme. Seringkali mereka (sebagai calon pendidik) telah melupakan hakikat dari pendidikan itu sendiri. Sehingga memandang bahwa pendidikan adalah selembar kertas yang bernama ijasah, yang dengan kertas itu mereka bisa menjadi PNS dan mendapatkan sertifikasi. Dalam hal ini SIM (surat izin mengajar) yang tentu saja mereka mendapatkan tunjangan sebesar gaji pokok mereka.
Berkaitan dengan hal diatas, maka perlu adanya upaya untuk menumbuhkan kesadaran mahasiswa tarbiyah terutama kepekaan mereka dengan problematika pendidikan. Dalam hal ini, perlu adanya forum-forum yang bisa dijadikan ajang untuk berdiskusi, brainstorming, problem solving khususnya dalam bidang pendidikan. Sehingga sebagai calon pendidik mereka mempunyai kepekaan terhadap realitas pendidikan di negara kita dan mereka tidak hanya mengandalkan pembelajaran mereka dikelas bersama dosen. Sebab, sebagai calon praktisi pendidikan, mereka diharapkan mampu menjawab semua problem pendidikan karena ditangan merekalah masa depan pendidikan Indonesia. Quo vadis pendidikan Indonesia?
read more...